Serba Serbi UKMPPD



Uji Kompetensi Mahasiswa Program Profesi Dokter (UKMPPD) sejak 2014 menjadi momok lebih dari 2.700 dokter yang menanti ijazah kedokteran. Beberapa di antara mereka bahkan mengikutinya lebih dari 20 kali. Hasilnya nihil.

Pertanyaannya, apa penyebab para dokter muda begitu sulit lulus dari lubang jarum uji kompetensi profesi? Apakah akurat tudingan para dekan dan kementerian yang menganggap mereka tak mampu secara akademik lewat acuan "standar nasional"? Atau justru ada kesalahan atas sistem uji kompetensi?
Uji Kompetensi Mahasiswa Program Profesi Dokter (UKMPPD) diselenggarakan oleh Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemristekdikti) dengan menggaet beberapa instansi dan organisasi profesi. Di antaranya Kementerian Kesehatan, Konsil Kedokteran Indonesia, Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia, dan Asosiasi Institusi Pendidikan Kedokteran Indonesia. Uji kompetensi terdiri dua jenis tes, yaitu Computer Based Test (CBT) dan Objective Structured Clinical Examination (OSCE). Singkatnya, CBT merupakan ujian tertulis dan OSCE adalah ujian praktik.

Uji kompetensi dilakukan secara nasional dan serentak, empat kali dalam setahun: Februari, Mei, Agustus, dan November. Untuk dapat mengikuti tes ini, panitia nasional memungut biaya Rp1 juta per orang. Rinciannya: Rp400 ribu untuk CBT dan Rp600 ribu untuk OSCE.

Lantas di mana ganjilnya?

Pasal 9 Permendikti Nomor 18/2015 menjamin biaya Uji Kompetensi terintegrasi dengan biaya pendidikan sehingga tidak memberatkan peserta didik. Biaya itu dikumpulkan oleh fakultas, lalu dibayarkan secara kolektif kepada panitia nasional ujian tersebut. Namun, dalam praktiknya, mahasiswa program profesi kedokteran tetap dimintai biaya UKMPPD tiap akan mengikuti ujian.

Menurut Muhammad Ichsan, ketua advokasi Pergerakan Dokter Muda Indonesia, solidaritas retaker yang mengkritisi sistem pendidikan kedokteran saat ini, hampir semua retaker yang gagal UKMPPD hanya terhambat pada tes tertulis atau CBT.

“Kan aneh, OSCE lulus, tapi CBT gagal. Harusnya yang menjadi indikator adalah ujian praktik. Karena nanti saat kami menjadi dokter, kami langsung menghadapi pasien,” terang Ichsan.

Beruntung, peserta hanya harus mengulang tes yang gagal pada ujian kompetensi berikutnya. Tapi bagi yang sudah mencoba hingga 20 kali CBT, seperti Ichsan dan kawan-kawan, hal ini tetap memberatkan.

Usut punya usut, materi soal CBT yang diujikan tidak transparan merujuk pada mazhab tertentu. Ichsan menjelaskan, dalam 200 soal pilihan ganda yang diberi waktu 200 menit, tak ada jawaban salah. Semua jawaban yang tertera adalah benar; peserta ujian hanya diminta mengisi jawaban yang paling benar.

Hal ini tidak menjadi masalah jika panitia UKMPPD konsisten merujuk mazhab kedokteran tertentu yang mereka gunakan sebagai rujukan materi soal. Sehingga peserta bisa mempelajarinya terlebih dahulu.

“Jadi, yang kita pelajari misalnya dari mazhab kampus tertentu. Tapi kemudian pembuat soal baru saja pulang dari sekolah di Jerman. Lalu dia gunakan rujukan dari Jerman untuk soal tersebut. Ya tentu tidak akan sama," lanjut Ichsan.

"Kami bahkan tidak menerima hasil ujian kami, mana yang benar dan salah? Kalau pun ada, kunci jawaban tidak menjelaskan jawaban tersebut berdasarkan argumen yang mana,” tambah Ichsan kepada Tirto.

Namun, menurut dr. Mahmud Ghaznawie, Ketua Asosiasi Institusi Pendidikan Kedokteran Indonesia, kasus yang diungkapkan Ichsan itu sangat sedikit ditemukan. Hal ini bisa terjadi lantaran peserta diharuskan mempelajari banyak hal dari berbagai mazhab kedokteran, sementara yang keluar dalam ujian hanya 200 soal.

“Yang paling tepat untuk menjawab itu ya mereka tidak lulus karena jumlah jawaban benar tidak sampai 66 (nilai batas lulus CBT),” terang dokter Mahmud.


Kejanggalan lain adalah jadwal pengumuman CBT yang membutuhkan waktu hingga sebulan. Itu pun tak menentu. Bisa lebih cepat bahkan lebih lambat dari jadwal. Terlebih lagi ada ralat setelah pengumuman dibuat.

“Katanya berbasis komputer tapi kok masih ada ralat? Ada retaker yang tidak ikut OSCE, misalnya, tapi namanya muncul di pengumuman sebagai peserta yang lulus CBT dan OSCE,” lanjut Ichsan, yang berkata sudah menyerah untuk ikut uji kompetensi tersebut.


Uji Kompetensi sebagai 'Exit Exam'

Semula ada sela lebar antara jumlah retaker dari fakultas kedokteran bergengsi dan fakultas kedokteran berakreditasi C. Dari tahun ke tahun jumlah retaker yang gagal uji kompetensi berasal dari kampus-kampus yang sama. Akhirnya, uji kompetensi diputuskan sebagai ujian penentu kelulusan untuk para mahasiswa kedokteran. Harapannya, jumlah kelulusan retaker meningkat.

Keputusan ini dikukuhkan lewat pengesahan Undang-Undang 20/2013 tentang Pendidikan Kedokteran. Sejak itu, Uji Kompetensi Dokter Indonesia (UKDI) diganti menjadi Uji Kompetensi Mahasiswa Program Profesi Dokter (UKMPPD), yang diperkuat dengan peraturan menteri 30/2014 tentang tata cara ujian kompetensi.


Ada perbedaan mendasar antara UKDI dan UKMPPD. UKDI diselenggarakan bagi para dokter yang sudah memegang ijazah kedokteran yang ingin berpraktik sebagai dokter. Sementara UKMPPD, sesuai namanya, menyertakan terminologi mahasiswa, maka persyaratan untuk dapat mengikutinya adalah mereka yang terdaftar sebagai mahasiswa.

Praktis, untuk menjalani ketentuan hukum, para dokter yang sudah menjalani yudisium belum boleh diluluskan dan harus mengikuti uji kompetensi guna sekaligus mendapatkan sertifikat profesi yang setara ijazah serta sertifikat kompetensi.

Menurut Mahmud Ghaznawie dari Asosiasi Institusi Pendidikan Kedokteran Indonesia, undang-undang dan peraturan menteri itu disalahtafsirkan pemerintah sebagai penentu kebijakan. Dokter yang sudah menjalani ko-asisten (koas) di rumah sakit dianggap sebagai pendidikan profesi, padahal pendidikan kedokteran itu, baik akademis maupun koas, merupakan satu-kesatuan. Peraturan menteri pada era Mohammad Nuh—yang memang dikenal tergila-gila dengan konsep "standarisasi nasional"—mengubah ijazah kedokteran menjadi sertifikat profesi.

“Pendidikan akademis harus diakhiri dengan ijazah dan memiliki gelar. Mana ada pendidikan profesi yang memberi gelar? Itu sudah offside,” jelas Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Makassar itu.

Ia menganggap UKMPPD sebagai exit exam adalah sumber masalah. “Coba lihat, menyelesaikan masalah tidak UU itu? Malah makin banyak retaker tiap tahun.”

Dalam pelaksanaannya, uji kompetensi tersebut—yang ingin menjamin "mutu" lulusan dokter "terstandar secara nasional"—melenceng dari peraturan menteri. Pasal 4 ayat 1 Permendikbud 30/2014 hanya menyebutkan fakultas kedokteran sebagai penyelenggara, dan bekerjasama dengan Asosiasi Institusi Pendidikan Kedokteran Indonesia, yang berkoordinasi dengan organisasi profesi. Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Ristekdikti, hanya bertindak sebagai pengawas. Namun, menurut Mahmud, pemerintah terlalu campur tangan.

Intervensi itu terlihat pada penentuan nilai batas lulus. Pada CBT, nilai batas lulus adalah 66, sementara OSCE adalah 68. Asosiasi mempertanyakan dasar ilmiah penentuan skor tersebut sebagai batas lulus. Mereka membandingkannya dengan Amerika Serikat yang memiliki pakar psikometri untuk memberikan saran dalam penentuan nilai batas.

“Nilai batas lulus itu harus disesuaikan tingkat kesulitan materi soal. Jadi tidak semata-mata dinaikkan untuk meningkatkan kualitas. Harus ada kajiannya,” jelas Mahmud Ghaznawie kepada Tirto di Jakarta.

Ia menampik tudingan bahwa argumen tersebut bisa dipakai untuk menggampangkan kelulusan uji kompetensi. Padahal, menurutnya, uji kompetensi sepenuhnya urusan Asosiasi Institusi Pendidikan Kedokteran Indonesia dan organisasi profesi, bukan Kementerian Ristekdikti.

Infografik HL Indepth Sekolah Dokter


Jika dibandingkan dengan luar negeri, seperti di Amerika Serikat, uji kompetensi dokter disebut United States Medical Licensing Examination (USMLE). Ujian ini terdiri tiga tahapan: pra-clinic, para clinic, dan clinic. Bedanya, ujian ini dapat dilakukan saat mahasiswa masih menjalani pendidikan akademis. Ingatan mahasiswa masih segar lantaran yang diujikan adalah pelajaran yang tengah mereka dalami. Para dokter bisa lulus cukup mudah tetapi tetap terjaga kualitasnya.

“Tapi di tanah air, dokter kita dipersulit oleh teman-temannya sendiri,” ujar Mahmud, emosional.

Solusi Panjang: Revisi UU Pendidikan Kedokteran

Menghadapi polemik ini, kampus-kampus yang membuka program fakultas kedokteran terikat pada aturan hukum. Retaker tetap diwajibkan kampus untuk membayar biaya semester sekalipun sudah lulus karena ijazah mereka masih ditahan. Opsi drop out pun sulit, kalau enggan disebut tindakan putus asa. Bagaimanapun, para retaker sudah menyelesaikan semua kewajiban akademik. Beberapa kampus yang habis ide, akhirnya, menyarankan retaker mengundurkan diri atau pindah ke fakultas lain.

Sikap Mahmud Ghaznawie tegas untuk hal ini. “Saya selalu bilang kepada mereka, 'Jangan ada yang mengundurkan diri. Tunggu sampai didrop-out. Lalu kalian ajukan gugatan ke PTUN, pasti menang.' Urusan mau ikut uji kompetensi, terserah mereka. Tapi berikan dulu ijazah. Itu hak mereka."

Ada dorongan agar rektor memberikan ijazah sarjana kedokteran kepada para retaker sebagai solusi jangka pendek. Tapi, opsi ini tetap menimbulkan masalah. Siapa pun yang telah menyelesaikan pendidikan akademik dan menjalani ko-asisten di rumah sakit berhak mendapat ijazah dan gelar dokter. Sementara, jika hanya menerima ijazah sarjana kedokteran, retaker tetap tak mendapatkan gelar dokter.

Tiga tahun masalah ini berlarut. Akhirnya, pada audiensi revisi Undang-Undang Pendidikan Kedokteran, Asosiasi yang dipimpin Mahmud Ghaznawie menawarkan solusi agar peraturan ini dikembalikan lagi pada Undang-Undang Praktik Kedokteran. Artinya, uji kompetensi dikembalikan lagi pada model lama bernama Uji Kompetensi Dokter Indonesia. “Peraturan yang dulu sudah bagus, kok. Mengapa diubah? Saya gagal paham,” kata Mahmud.

Di DPR, revisi UU Pendidikan Kedokteran baru memulai tahap penyelarasan sejak akhir Juni 2018, kendati undang-undang ini masuk daftar Pogram Legislasi Nasional 2018 (lihat nomor 30). Badan legislasi masih mencari masukan dari beberapa kalangan profesi kedokteran.

"Revisi ini inisiatif DPR, tujuannya bagaimana membuat pendidikan kedokteran yang efisien dan berkualitas. Jangan berlarut-larut dan jangan membuat peserta didik dikenai pungutan yang membebani untuk melayani kepentingan pribadi badan tertentu," ujar Hendrawan Supratikno, politikus PDI Perjuangan, anggota badan legislasi DPR.

Namun, DPR belum memastikan apakah revisi undang-undang akan menyentuh akar persoalan retaker, yang menyangkut aturan uji kompetensi kedokteran (pasal 36), lantaran draf revisi undang-undang belum pula disusun hingga laporan ini dirilis.

"Masih dibahas. Jangan mendahului pandangan fraksi. Kami hanya ingin menyederhanakan agar tidak membuat biaya pendidikan kedokteran menjadi tinggi," lanjut Hendrawan.

Revisi regulasi pendidikan kedokteran bisa saja menjadi solusi efektif untuk mengakhiri sengkarut pendidikan dokter di tanah air. Namun, perjalanannya masih panjang. Dan dalam perjalanan panjang ini, masih ada 2.700 retaker yang bernasib kelam. Mereka harus terus merogoh kocek untuk biaya semester dan ujian. Biaya ini masih terus terakumulasi, menjadikan para retaker sebagai "ATM berjalan", tergantung seberapa lama revisi pasal-pasal bermasalah dalam undang-undang tersebut bergulir dan beres di DPR.



SUMBER ARTIKEL

Tidak ada komentar:

Posting Komentar