Beberapa waktu yang lalu, ada sebuah tulisan yang cukup menghebohkan dunia kedokteran,
terutama pendidikan dokter. Tulisan yang dimuat di kompasiana itu
berjudul Para Calon Dokter itu Sombong Sekali, ditulis oleh Afandi Sido. Penulis blog itu menuturkan tanggapannya
atas apa yang ia lihat dan rasakan terhadap dokter-dokter muda yang ada
di salah satu RS di Yogyakarta. Ia merasakan dari sisi awam bahwa
dokter-dokter muda menyebabkan kesenjangan sosial dan cenderung
eksklusif, tidak memiliki rasa empati terhadap pasien dan orang-orang
sekitar.
Dalam tulisan ini saya mencoba untuk memberikan tanggapan dari sisi saya sebagai dokter muda mengenai hal tersebut dan berbagai streotipe yang beredar di masyarakat. Dan tentu tulisan ini adalah opini dan argumentasi. Komentar dibawah terbuka lebar.
Menjadi dokter adalah cita-cita bagi banyak orang. Menjadi dokter juga adalah sebuah impian, harapan bagi berbagai idealisme. Baik idealisme menolong orang lain, memenuhi harapan keluarga, hingga mengangkat harkat martabat keluarga. Apapun itu dasarnya, tidak bisa dielakkan, tidak bisa diubah, dan itulah keunikan setiap individu yang ingin menjadi dokter.
Menjadi dokter pula bukan berarti tanpa biaya. Namun juga bukan berarti biayanya murah. Memang sebuah fakta, bahwa menjadi dokter, di Indonesia, adalah barang yang mahal. Hal ini membuat asumsi masyarakat bahwa FK (Fakultas Kedokteran) adalah Fakultas Kaya. Saya kira suatu hal yang masuk akal saja bahwa orang yang mampu secara ekonomi dapat masuk FK, toh dia mampu-mampu saja. Dan tentu saja dibalik itu orang yang tidak mampu, tidak boleh tidak dapat masuk FK karena terdapat banyak jalur pembiayaan pendidikan termasuk beasiswa. Yang jelas kedua-duanya, baik yang kaya atau tidak mampu, memiliki satu kesamaan yang tidak dimiliki orang lain, yaitu kemampuan akademik yang tepat untuk menjadi dokter. Itu saja. Maka saya kira masalah pundi-pundi bukan alasan untuk masuk FK.
Menjadi dokter harus melalui 2 tahap pendidikan, yaitu praklinik dan kepaniteraan klinik. Praklinik adalah menjalani kuliah selama 3,5 tahun (normalnya) dan setelah menyelesaikannya akan diberi gelar S.Ked (Sarjana Kedokteran). Seorang S.Ked belum dapat menjadi dokter. Sama seperti Seorang SE (Sarjana Ekonomi) belum dapat menjadi akuntan. Seorang SH (Sarjana Hukum) belum dapat menjadi advokat atau notaris. Maka seorang S.Ked harus menjalani kepaniteraan klinik atau koas (dari kata ko-asisten, artinya jelas sebagai asisten dokter, bukan dokter) atau periode dokter muda selama 1,8 tahun (normalnya). Setelah itu, dengan kurikulum baru dan kebijakan baru harus melewati masa internship selama kurang lebih 1 tahun dengan STR sementara, sebelum itu menjalani UKDI (Ujian Kompetensi Dokter Indonesia). Baru dapat mengajukan STR tetap dan SIP sesuai dengan UU Praktik Kedokteran. Baru dapat praktik mandiri sebagai dokter.
Menjadi koas adalah suatu periode pendidikan dokter yang ditekankan pada penerapan (aplikasi) teori-teori yang sebelumnya sudah didapat dari periode praklinik. Menjadi koas bukanlah menjadi dokter mandiri. Koas memiliki hak dan kewajibannya sendiri dan serupa-tak-sama dengan hak dan kewajiban dokter. Koas dan dokter punya kewajiban untuk menghormati pasien, bersikap profesional sesuai keilmuan, dan lainnya. Namun koas tidak ada hak untuk berpraktik mandiri. Semua apa yang dilakukan koas harus berada dibawah supervisi dokter pembimbingnya. Namun dibalik itu mereka pun dituntut untuk memiliki profesionalisme layaknya dokter mandiri. Jadi, saya kira ketika masyarakat awam berhadapan dengan koas, maka sudah sesuai aturan yang ada, bila mereka tidak dapat menegakkan diagnosis dan memberi terapi secara mandiri di depan pasien tanpa dikonsultasikan dengan pembimbingnya.
Menjadi koas memang posisinya seperti serba tanggung. Mereka menganamnesa pasien, memeriksa pasien, kemudian baru dilaporkan ke pembimbing, dan diricek ulang pembimbing, baru dapat ditegakkan diagnosis oleh pembimbing. Memang tampak ribet, dan tidak seperti ke dokter biasa yang bisa dilewati proses oleh dokter muda langsung ke dokter praktiknya. Hal ini tidak jarang memberi kesan bagi pasien, apakah saya jadi bahan percobaan? Tentunya di sini perlu ada kesepahaman antara dua pihak. Koas perlu bersikap profesional dan memberi rasa nyaman sehingga pasien tidak dirugikan. Dan sebaliknya pasien perlu paham bahwa dirinya bukanlah kelinci percobaan, tetapi dirinya terlibat sebagai guru bagi koas sehingga koas pun bisa mengembangkan dirinya untuk menjadi dokter yang baik kelak. Apakah masyarakat mau punya dokter yang selama hidupnya hanya melakukan tindakan dengan boneka saja?
Apakah pasien harus takut bila diperiksa koas? Ini kembali lagi kesepahaman. Koas harus bersikap profesional, rasional, dan sesuai dengan janji hipokratiknya untuk "First do no harm -- Yang terutama, jangan mencelakakan orang". Kemudian ia menerapkan apa yang ia pelajari sesuai dengan standar ilmu yang ada. Di dalam proses dunia fana ini, mungkin terjadi kesalahan. Misalnya koas yang menginfus pasien menyebabkan bengkak di tempat penusukan dan akhirnya penusukan infus diberikan ke pembimbing. Ingat bahwa semata-mata, koas tidak ada niat mencelakakan pasien, ia berusaha yang terbaik bagi pasien. Kesalahan yang ada bukan disengaja. Tindakan-tindakan ini memerlukan pengalaman yang tak hanya sekali. Seperti anak yang belajar berjalan, apakah ia dapat tanpa tejatuh atau tertatih dahulu?
Menjadi koas, seperti yang disebutkan, perlu mengedepankan rasa profesionalisme layaknya dokter praktik. Harus mampu menempatkan diri dan sikap yang sesuai. Jelas dokter muda tidak boleh terlihat asyik bermain game di depan pasien. Dokter muda tidak boleh diam saja ketika pasien memerlukan pertolongan. Dokter muda tidak boleh terlihat cengengesan di depan pasien. Ya, ini layaknya seorang dokter.
Selama hampir 2 tahun saya menjadi koas, saya merasakan banyak pengalaman menjadi dokter muda. Baik dari yang diacuhkan pasien karena saya seorang dokter muda, namun tidak sedikit saya mendapat pengalaman berharga bersama pasien. Banyak pasien yang juga senang terhadap dokter muda, karena mereka dapat mencurahkan isi hatinya lebih banyak, karena mereka dapat bertanya lebih banyak. Karena dengan dokter mudalah yang lebih sering berinteraksi dengan mereka daripada dokter konsulen dan perawat. Karena dokter mudalah yang sering menjawab bel panggilan mereka ketika infus mereka macet. Karena dokter mudalah yang seharian membantu memberi napas bantuan melalui kantung ambu ketika pasien tidak mampu membayar ICU. Dokter mudalah yang menghitung detail air minum dan air kencing pasien yang gagal jantung. Dan tentunya ini berakhir dengan ucapan: "Terima kasih dokter" kepada dokter muda itu.
Kesimpulannya? Antara pasien dan koas perlu ada kesepahaman, perlu ada rasa menghargai dan menghormati satu sama lain. Eksistensi keduanya saling diperlukan. Pasien tidak perlu lagi merasa dirinya kelinci percobaan. Koas tidak perlu merasa pasien adalah duri dalam daging. Tetapi keduanya saling merasa membutuhkan sehingga menghasilkan hubungan yang mutualisme satu sama lainnya.
This is not my original article.
Shoutout to BLOG CATATAN KOAS. All credits to him.
Menurut saya tulisan ini menarik sehingga saya berkeinginan untuk me-repost (tentunya dengan tahap pengeditan di beberapa kalimat).
Thanks.
Dalam tulisan ini saya mencoba untuk memberikan tanggapan dari sisi saya sebagai dokter muda mengenai hal tersebut dan berbagai streotipe yang beredar di masyarakat. Dan tentu tulisan ini adalah opini dan argumentasi. Komentar dibawah terbuka lebar.
Menjadi dokter adalah cita-cita bagi banyak orang. Menjadi dokter juga adalah sebuah impian, harapan bagi berbagai idealisme. Baik idealisme menolong orang lain, memenuhi harapan keluarga, hingga mengangkat harkat martabat keluarga. Apapun itu dasarnya, tidak bisa dielakkan, tidak bisa diubah, dan itulah keunikan setiap individu yang ingin menjadi dokter.
Menjadi dokter pula bukan berarti tanpa biaya. Namun juga bukan berarti biayanya murah. Memang sebuah fakta, bahwa menjadi dokter, di Indonesia, adalah barang yang mahal. Hal ini membuat asumsi masyarakat bahwa FK (Fakultas Kedokteran) adalah Fakultas Kaya. Saya kira suatu hal yang masuk akal saja bahwa orang yang mampu secara ekonomi dapat masuk FK, toh dia mampu-mampu saja. Dan tentu saja dibalik itu orang yang tidak mampu, tidak boleh tidak dapat masuk FK karena terdapat banyak jalur pembiayaan pendidikan termasuk beasiswa. Yang jelas kedua-duanya, baik yang kaya atau tidak mampu, memiliki satu kesamaan yang tidak dimiliki orang lain, yaitu kemampuan akademik yang tepat untuk menjadi dokter. Itu saja. Maka saya kira masalah pundi-pundi bukan alasan untuk masuk FK.
Menjadi dokter harus melalui 2 tahap pendidikan, yaitu praklinik dan kepaniteraan klinik. Praklinik adalah menjalani kuliah selama 3,5 tahun (normalnya) dan setelah menyelesaikannya akan diberi gelar S.Ked (Sarjana Kedokteran). Seorang S.Ked belum dapat menjadi dokter. Sama seperti Seorang SE (Sarjana Ekonomi) belum dapat menjadi akuntan. Seorang SH (Sarjana Hukum) belum dapat menjadi advokat atau notaris. Maka seorang S.Ked harus menjalani kepaniteraan klinik atau koas (dari kata ko-asisten, artinya jelas sebagai asisten dokter, bukan dokter) atau periode dokter muda selama 1,8 tahun (normalnya). Setelah itu, dengan kurikulum baru dan kebijakan baru harus melewati masa internship selama kurang lebih 1 tahun dengan STR sementara, sebelum itu menjalani UKDI (Ujian Kompetensi Dokter Indonesia). Baru dapat mengajukan STR tetap dan SIP sesuai dengan UU Praktik Kedokteran. Baru dapat praktik mandiri sebagai dokter.
Menjadi koas adalah suatu periode pendidikan dokter yang ditekankan pada penerapan (aplikasi) teori-teori yang sebelumnya sudah didapat dari periode praklinik. Menjadi koas bukanlah menjadi dokter mandiri. Koas memiliki hak dan kewajibannya sendiri dan serupa-tak-sama dengan hak dan kewajiban dokter. Koas dan dokter punya kewajiban untuk menghormati pasien, bersikap profesional sesuai keilmuan, dan lainnya. Namun koas tidak ada hak untuk berpraktik mandiri. Semua apa yang dilakukan koas harus berada dibawah supervisi dokter pembimbingnya. Namun dibalik itu mereka pun dituntut untuk memiliki profesionalisme layaknya dokter mandiri. Jadi, saya kira ketika masyarakat awam berhadapan dengan koas, maka sudah sesuai aturan yang ada, bila mereka tidak dapat menegakkan diagnosis dan memberi terapi secara mandiri di depan pasien tanpa dikonsultasikan dengan pembimbingnya.
Menjadi koas memang posisinya seperti serba tanggung. Mereka menganamnesa pasien, memeriksa pasien, kemudian baru dilaporkan ke pembimbing, dan diricek ulang pembimbing, baru dapat ditegakkan diagnosis oleh pembimbing. Memang tampak ribet, dan tidak seperti ke dokter biasa yang bisa dilewati proses oleh dokter muda langsung ke dokter praktiknya. Hal ini tidak jarang memberi kesan bagi pasien, apakah saya jadi bahan percobaan? Tentunya di sini perlu ada kesepahaman antara dua pihak. Koas perlu bersikap profesional dan memberi rasa nyaman sehingga pasien tidak dirugikan. Dan sebaliknya pasien perlu paham bahwa dirinya bukanlah kelinci percobaan, tetapi dirinya terlibat sebagai guru bagi koas sehingga koas pun bisa mengembangkan dirinya untuk menjadi dokter yang baik kelak. Apakah masyarakat mau punya dokter yang selama hidupnya hanya melakukan tindakan dengan boneka saja?
Apakah pasien harus takut bila diperiksa koas? Ini kembali lagi kesepahaman. Koas harus bersikap profesional, rasional, dan sesuai dengan janji hipokratiknya untuk "First do no harm -- Yang terutama, jangan mencelakakan orang". Kemudian ia menerapkan apa yang ia pelajari sesuai dengan standar ilmu yang ada. Di dalam proses dunia fana ini, mungkin terjadi kesalahan. Misalnya koas yang menginfus pasien menyebabkan bengkak di tempat penusukan dan akhirnya penusukan infus diberikan ke pembimbing. Ingat bahwa semata-mata, koas tidak ada niat mencelakakan pasien, ia berusaha yang terbaik bagi pasien. Kesalahan yang ada bukan disengaja. Tindakan-tindakan ini memerlukan pengalaman yang tak hanya sekali. Seperti anak yang belajar berjalan, apakah ia dapat tanpa tejatuh atau tertatih dahulu?
Menjadi koas, seperti yang disebutkan, perlu mengedepankan rasa profesionalisme layaknya dokter praktik. Harus mampu menempatkan diri dan sikap yang sesuai. Jelas dokter muda tidak boleh terlihat asyik bermain game di depan pasien. Dokter muda tidak boleh diam saja ketika pasien memerlukan pertolongan. Dokter muda tidak boleh terlihat cengengesan di depan pasien. Ya, ini layaknya seorang dokter.
Selama hampir 2 tahun saya menjadi koas, saya merasakan banyak pengalaman menjadi dokter muda. Baik dari yang diacuhkan pasien karena saya seorang dokter muda, namun tidak sedikit saya mendapat pengalaman berharga bersama pasien. Banyak pasien yang juga senang terhadap dokter muda, karena mereka dapat mencurahkan isi hatinya lebih banyak, karena mereka dapat bertanya lebih banyak. Karena dengan dokter mudalah yang lebih sering berinteraksi dengan mereka daripada dokter konsulen dan perawat. Karena dokter mudalah yang sering menjawab bel panggilan mereka ketika infus mereka macet. Karena dokter mudalah yang seharian membantu memberi napas bantuan melalui kantung ambu ketika pasien tidak mampu membayar ICU. Dokter mudalah yang menghitung detail air minum dan air kencing pasien yang gagal jantung. Dan tentunya ini berakhir dengan ucapan: "Terima kasih dokter" kepada dokter muda itu.
Kesimpulannya? Antara pasien dan koas perlu ada kesepahaman, perlu ada rasa menghargai dan menghormati satu sama lain. Eksistensi keduanya saling diperlukan. Pasien tidak perlu lagi merasa dirinya kelinci percobaan. Koas tidak perlu merasa pasien adalah duri dalam daging. Tetapi keduanya saling merasa membutuhkan sehingga menghasilkan hubungan yang mutualisme satu sama lainnya.
This is not my original article.
Shoutout to BLOG CATATAN KOAS. All credits to him.
Menurut saya tulisan ini menarik sehingga saya berkeinginan untuk me-repost (tentunya dengan tahap pengeditan di beberapa kalimat).
Thanks.